Jumat, 01 Juli 2011

Menjadi Guru Pembelajar

oleh A.Halim Rahmat

Banyak guru beranggapan bahwa pendidikan adalah proses mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa agar menjadi anak yang pintar dan terampil, atau proses membentuk pribadi siswa agar menjadi anak yang baik. Sehingga pemahaman ini berimplikasi pada cara mengajar guru yang superior dan sentralistik. Pada akhirnya akan muncul kekerasan dan pemaksaan guru pada peserta didik dengan dalih agar peserta didik menjadi orang anak yang baik, pintar, ahli dan terampil sesuai keinginan gurunya.

Pendidikan seperti ini oleh Paulo Freire (tokoh pendidikan pembebasan) disebutnya dengan pendidikan gaya bank. Dimana para siswa adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukan inter-komunikasi, tapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi oleh siswa. Ruang gerak yang diberikan kepada siswa hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.



Dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan, kepada mereka yang dianggap tidak berpengetahuan.

Gambaran pendidikan gaya bank dapat dilihat pada ilustrasi berikut : (1). Guru mengajar, siswa diajar (2). Guru mengetahui segala sesuatu, siswa tidak tahu apa-apa (3). Guru berfikir, siswa dipikirkan (4). Guru bercerita, siswa patuh mendengarkan (5). Guru menentukan peraturan, siswa diatur (6). Guru memilih dan melaksanakan pilihannya, siswa menyetujui (7). Guru berbuat, siswa membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya (8). Guru memilih bahan dan isi pelajaran, siswa (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan dengan pelajaran itu (9). Guru mencampur-adukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya untuk menghalangi kebebasan siswa (10). Guru adalah subyek dalam proses belajar mengajar.

Pemahaman seperti ini harus segera diubah, karena bertentangan dengan hakekat pendidikan itu sendiri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya seorang pendidik tidak dapat mengajarkan apapun, ia hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki self-hidden potential excellece (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin. Karena itu, seorang guru hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning). Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri.

Daur Mengetahui
Salah satu proses belajar yang bagus untuk dikembangkan adalah dengan “daur mengetahui”. Daur mengetahui mempunyai tahapan terpisah yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Dengan mengamati tahapan tersebut kita akan dapat memahami lebih baik tentang apa yang terjadi jika mencoba mengajar dan belajar. Saat pertama dari daur adalah produksi (memproduksi pengetahuan/membangun pengetahuan baru). Kemudian saat yang kedua adalah ketika menghasilkan pengetahuan (mengetahui yang sudah ada). Yang terjadi biasanya adalah mendikotomisasikan (menjadikan keduanya terpisah). Pengetahuan dilahirkan di suatu tempat yang jauh dari siswa dan diminta untuk dihafalkan oleh sang guru. Sebagai akibatnya, kita telah mereduksi makna “mengetahui” menjadi sekedar “memindahkan” pengetahuan yang sudah ada. Guru pun berubah status menjadi pemindah ilmu saja.

Untuk menghilangkan dikotomi itu, maka guru harus memposisikan dirinya sebagai pembelajar seperti siswa. Guru tidak menyodorkan pengetahuan yang sudah “masak” kepada siswa. Tetapi memulai belajar dengan pertanyaan apa, kenapa, dan bagaimana. Guru dan siswa bersama-sama mencari jawabannya. Guru tidak melakukan sesuatu kepada siswa, tetapi melakukan sesuatu bersama siswa. Walaupun sang guru sebenarnya sudah mengetahui atau bahkan ia adalah ahlinya, tetapi dalam proses pembelajaran ini yang dipentingkan adalah “proses mengetahui”-nya itu. Dalam situasi ini tidak ada yang lebih pintar, tidak ada yang menguasai, dan tidak ada yang lebih ahli, sehingga nantinya pengetahuan akan muncul dari kelas itu sendiri, bukan diambil jauh dari pengarang buku.

Guru hanya mengambil tema yang akan dipelajari, akan lebih baik jika tema yang diambil adalah kejadian riil yang terjadi di masyarakat kemudian membahasnya dalam ruang kelas. Mengambil Tema riil kejadian disekitar siswa (model hadap masalah) akan menjadikan siswa lebih dewasa dalam berfikir. Dan secara tidak langsung menjadikan mereka siap untuk hidup di masyarakat menghadapi segala permasalahan dalam kehidupan.

Lebih jauh, apabila guru dan siswa mampu menggunakan kelas untuk mendaur ulang ilmu pengetahuan seperti ini, maka mereka juga akan menyadari kemampuannya untuk menata ulang masyarakat. Dan dipastikan akan muncul generasi bangsa yang kritis, kreatif, berani dan cerdas. Bukankah generasi seperti ini yang diharapkan oleh bangsa Indonesia ke depan.

Guru yang baik adalah guru yang tidak menggurui, tetapi menjadi guru pembelajar sama seperti siswanya. Paulo Freire berkata; Guru bukan “puncak” perkembangan yang harus dicapai siswa. Siswa bukan armada yang mencoba menggapai guru yang telah berhasil mencapai dan menunggu di pantai. Guru juga perahu itu sendiri
(Terbit di Media Kalimantan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar