Jumat, 01 Juli 2011

Tidak Ada Anak yang Bodoh

oleh Abdul Halim Rahmat
Diluar dugaan, ternyata Syifa hafal bacaan do’a iftitah. Padahal tiga bulan yang lalu ketika disuruh melafalkan bacaan tersebut, dia tidak bisa sama sekali. Bagi anak biasa, menghafal do’a iftitah mungkin bisa dilakukan paling lama satu minggu sudah hafal. Tapi bagi anak berkebutuhan khusus ini, waktu satu minggu belumlah cukup untuk menghafalkan doa tersebut.

Syifa adalah siswi kelas VI Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Ia termasuk penyandang tuna grahita ringan dengan IQ antara 50 – 70. Sama dengan anak-anak lainnya, Syifa adalah siswi pindahan dari sekolah normal biasa. Karena ia tidak bisa mengikuti pelajaran seperti teman-temannya, selalu tertinggal dan lambat dalam belajar, sehingga ia direkomendasikan untuk bersekolah di SLB.



Sebenarnya masih banyak siswa penyandang tuna grahita ringan ini yang masih belajar di sekolah umum. Tapi karena kurang terdeteksi secara khusus, ditambah lagi fisik mereka juga tidak berbeda dengan anak seumurnya, sehingga mereka tetap saja bersekolah di tempat tersebut.Akibatnya mereka tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan selalu tertinggal dari teman-temannya. Ketika teman-temannya sudah lancar membaca, mereka baru bisa mengenali huruf. Ketika teman-temannya sudah bisa menghitung perkalian, mereka paling tinggi baru bisa melakukan penambahan, begitulah anak penyandang tuna grahita ringan.

Di Sekolah Luar Biasa, anak-anak ini mendapat perhatian dan penanganan secara individual. Karena itu penanganan secara individual mutlak dilakukan. Dalam satu kelas, standar jumlah siswanya adalah 5 sampai 8 orang saja, sehingga penanganannya akan lebih mudah dibandingkan dengan sekolah umum.

Ketika saya mulai mengajar pelajaran Agama Islam di sebuah SLB, saya mendapati anak SD hingga SMA di sekolah ini tak satupun yang hafal bacaan-bacaan sholat secara tuntas ditambah lagi banyaknya kesalahan-kesalahan dalam gerakan sholat. Melihat kondisi yang demikian, saya berkeyakinan kalau mereka sebenarnya bisa menghafal bacaan sholat, tapi harus dengan metode tertentu dan khusus bagi mereka. Anak penyandang tuna grahita ringan sebenarnya masih mampu menangkap pelajaran, namun lambat dibandingkan dengan anak umumnya. Biasanya mereka ini juga termasuk dalam kategori anak bandel di sekolah sebelumnya. Mereka kurang fokus dalam belajar dan tidak ada motivasi dalam belajar, sehingga dengan keterbatasan inteleginsia yang dimiliki mereka, ilmu pengetahuan/pelajaran yang diberikan pun menjadi mental.

Ada satu hal yang menjadi perhatian saya, sekitar 90 persen dari mereka sudah hafal surah al Fatihah. Saya tanyakan kepada mereka apakah mereka menghafal secara khusus untuk bisa melafalkan surah itu. Ternyata tidak, ketika ditanya kapan pertama kali mereka hafal surah tersebut, mereka juga tidak bisa menjawab. Ternyata, mereka bisa hafal dan lancar membaca surah Al Fatihah tersebut karena setiap berdoa (awal/akhir) pelajaran selalu membaca surah Al Fatihah dengan nyaring dan bersama-sama.
Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa, model pembelajaran yang cocok untuk mereka adalah model pembiasaan. Dengan penerapan model ini, bisa membuat sesuatu yang mustahil bisa menjadi kenyataan. Kalau saya menyuruh anak-anak ini untuk menghafalkan surah Al Fatihah, tentu mereka tidak sanggup, dan sudah dipastikan mereka tidak akan mampu, dan menjadi malas untuk belajar.

Akhirnya, mulailah saya buat program untuk belajar sholat, waktunya adalah sesudah sholat zuhur berjamah yang dilakukan setiap hari. Sesudah shalat berjamaah para siswa saya tahan untuk tidak pulang. Pada kesempatan itu, saya buat latihan dengan melakukan sholat satu rakaat secara bersama-sama dengan dipandu oleh guru agama, dan didampingi oleh guru-guru yang lain sebagai pendamping untuk memperbaiki bacaan atau gerakan siswa yang salah. Siswa membaca seluruh bacaan sholat mulai dari niat, dan seterusnya sampai salam dengan suara yang nyaring. Sengaja saya lakukan persis seperti sholat sebenarnya dengan melakukan gerakan, mulut mengucap bacaan sholat dan telinga mendengar ucapannya dan ucapan kawan-kawannya, sehingga seluruh indera mereka digunakan disini.

Dalam kurun waktu tiga bulan, hasilnyapun mulai nampak. Beberapa siswa sudah mulai bisa melapalkan bacaan sholat secara mandiri, tanpa mengikuti bacaan teman-temannya. Jangka waktu tiga bulan sebenarnya adalah waktu yang lama bagi anak normal untuk bisa melafalkan seluruh bacaan sholat tersebut, tetapi tidak bagi mereka menyandang tuna grahita ini. Saya berkeyakinan, jika mereka secara pribadi disuruh untuk menghafalkan bacaan sholat ini, dalam waktu 6 bulan-pun mereka tidak akan bisa, karena keterbatasan penangkapan pada otak mereka dan tak ada motivasi belajar dalam diri mereka. Ditambah lagi dengan kondisi keluarga yang tidak kondusif, karena orang tuanya pun rata-rata juga tidak sholat dan tidak bisa bacaan-bacaan sholat.

Bagi anak tuna grahita sedang (atau biasa diistilahkan dengan tipe C1, tipe ini satu tingkat dibawah tuna grahita ringan), model latihan sholat ini sangat berpengaruh bagi mereka. Karena bagi anak tipe ini, jika sudah menjadi kebiasaan, maka akan susah untuk menghentikannya dan mereka akan melakukannya terus dengan disiplin. Rata-rata anak penyandang C1 ini akan selalu sholat, menuju mushola ketika waktu zuhur telah tiba tanpa disuruh oleh siapapun. Bahkan sebelum masuk waktu sholat-pun mereka sudah mewanti-wanti gurunya untuk sholat berjamaah.

Sungguh, ini suatu pengalaman yang berarti dan penuh hikmah dalam hidup ini. Bahwa Allah SWT, telah menciptakan makhluknya dengan berbagai bentuk dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sekurang apapun makhluk ciptaan-Nya (menurut pandangan manusia) sesungguhnya disana ada kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lain. Anak penyandang tuna grahita sedang (C1) walau punya kekurangan pada intelegensi mereka tapi punya kelebihan dalam hal disiplin sholatnya. Bagaimana dengan kita yang punya intelegensi lebih baik dari mereka? kita sering lalai atau bahkan tertinggal sholat kita hanya karena kesibukan lainnya.

Kemudian, bagi anak tuna grahita ringan yang biasa dikelas umum dikenal sebagai anak yang bebal, nakal atau pambabal sebenarnya masih bisa diajar. Dengan menggunakan metode, model pembelajaran dan cara yang khusus akhirnya mereka bisa juga mengguasai materi. Walaupun memerlukan waktu yang agak lama dibandingkan dengan anak lainnya. Intinya, sang Pencipta sebenarnya tidak pernah menciptakan anak yang bodoh, tetapi hanya anak itu saja yang tidak mau belajar.
(Terbit di Radar Banjarmasin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar