Jumat, 01 Juli 2011

8 Kecerdasan Majemuk

Oleh : Farida Syarifah Fatimah, S.Pd*


Cerdas…, apa itu cerdas?
Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah secara benar, yang secara relatif lebih cepat dibandingkan dengan anak seusianya.
Pendapat umum di masyarakat biasanya memandang bahwa anak cerdas digambarkan dengan IQ yang tinggi. Sehingga, orang tua terkadang menilai kecerdasan anaknya dari nilai rapor yang diterimanya di sekolah. Selanjutnya, membandingkan kemampuan anaknya (ranking-nya) dengan anak yang lain. Akibatnya, tanpa sadar orang tua telah menghilangkan rasa percaya diri anak yang mendapat ranking rendah. Oleh sebab itu, penulis sangat setuju bila ada sekolah yang meniadakan ranking pada penilaian akhir (rapor) anak. Karena biasanya ketika pembagian rapor banyak anak yang stres bila ranking tidak sesuai harapan orang tua.

Tidak Ada Anak yang Bodoh

oleh Abdul Halim Rahmat
Diluar dugaan, ternyata Syifa hafal bacaan do’a iftitah. Padahal tiga bulan yang lalu ketika disuruh melafalkan bacaan tersebut, dia tidak bisa sama sekali. Bagi anak biasa, menghafal do’a iftitah mungkin bisa dilakukan paling lama satu minggu sudah hafal. Tapi bagi anak berkebutuhan khusus ini, waktu satu minggu belumlah cukup untuk menghafalkan doa tersebut.

Syifa adalah siswi kelas VI Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Ia termasuk penyandang tuna grahita ringan dengan IQ antara 50 – 70. Sama dengan anak-anak lainnya, Syifa adalah siswi pindahan dari sekolah normal biasa. Karena ia tidak bisa mengikuti pelajaran seperti teman-temannya, selalu tertinggal dan lambat dalam belajar, sehingga ia direkomendasikan untuk bersekolah di SLB.

Menjadi Guru Pembelajar

oleh A.Halim Rahmat

Banyak guru beranggapan bahwa pendidikan adalah proses mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa agar menjadi anak yang pintar dan terampil, atau proses membentuk pribadi siswa agar menjadi anak yang baik. Sehingga pemahaman ini berimplikasi pada cara mengajar guru yang superior dan sentralistik. Pada akhirnya akan muncul kekerasan dan pemaksaan guru pada peserta didik dengan dalih agar peserta didik menjadi orang anak yang baik, pintar, ahli dan terampil sesuai keinginan gurunya.

Pendidikan seperti ini oleh Paulo Freire (tokoh pendidikan pembebasan) disebutnya dengan pendidikan gaya bank. Dimana para siswa adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukan inter-komunikasi, tapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi oleh siswa. Ruang gerak yang diberikan kepada siswa hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.

Keikhlasan Guru

Oleh Abdul Halim Rahmat

Pada tahun 1964, dia diangkat menjadi seorang guru setelah menamatkan pendidikannya di PGA 6 tahun. Gajinya waktu itu adalah 600 rupiah, suatu penghasilan yang boleh dikatakan lumayan untuk ukuran pada masa itu, kalau dibandingkan dengan masyarakat sekitar di tempat tinggalnya yang hanya berharap kepada kebaikan alam. Keadaan ekonomi negara kita memang masih belum baik, barang-barang pokok masih langka ditemui, akibatnya harga-hargapun tidak stabil.  Kalau dihitung-hitung dengan biaya hidup, memang tidak akan mencukupi, karena untuk harga 1 belik beras mencapai 1000 rupiah. Jadi, gaji satu bulan hanya bisa untuk beli beras saja.

Memang, pada waktu itu dia hidup dengan sederhana. Untuk lauk bisa mencari ikan yang masih melimpah di sungai dan sayur pun bisa didapat dari hasil menanam dari pekarangan atau tanah di samping rumah, tinggal memetik saja. Uang gaji biasanya hanya untuk membeli keperluan-keperluan lain seperti pakaian dan perabotan rumah tangga.